JAKARTA – Di tengah maraknya kedai kopi modern dan waralaba internasional, kopi keliling atau yang akrab disebut Starling—singkatan dari “Starbucks Keliling”—tetap menjadi bagian unik dari lanskap minum kopi di Jakarta.
Starling biasanya dioperasikan oleh pedagang keliling menggunakan sepeda atau sepeda motor, menjajakan kopi sachet, teh, minuman instan, hingga camilan ringan. Mereka kerap ditemui di area perkantoran, taman kota, stasiun, dan titik-titik keramaian.
Fenomena ini bertahan karena beberapa faktor. Harga yang terjangkau menjadi daya tarik utama, dengan secangkir kopi hitam atau kopi susu sachet bisa dinikmati hanya dengan Rp3.000–Rp5.000. Fleksibilitas lokasi dan jam operasional membuat starling mampu mengikuti pergerakan konsumennya, dari pagi hari untuk pekerja kantoran hingga malam hari untuk komunitas dan pengunjung ruang publik.
Bagi sebagian masyarakat, starling bukan sekadar penjual kopi, tetapi juga bagian dari interaksi sosial. Banyak pelanggan yang menjadikan momen membeli kopi di pedagang keliling ini sebagai kesempatan berbincang santai di sela aktivitas.
Meski menghadapi tantangan seperti persaingan dengan kedai kopi modern dan kebijakan penertiban di beberapa lokasi, para pedagang starling terus beradaptasi. Beberapa mulai menyediakan minuman dingin dalam botol, menerima pembayaran digital, dan memanfaatkan media sosial untuk memberi tahu lokasi mereka.
Fenomena starling juga menarik perhatian wisatawan domestik maupun mancanegara yang penasaran mencicipi “kopi jalanan” khas Jakarta. Tidak sedikit yang membagikan pengalaman ini di media sosial, sehingga secara tidak langsung memperkenalkan street coffee culture Indonesia ke audiens global.
Dengan kemampuannya menyajikan kopi cepat saji yang murah meriah di berbagai sudut kota, starling membuktikan bahwa budaya kopi di Indonesia tidak melulu soal interior mewah dan latte art, tetapi juga soal kehangatan, aksesibilitas, dan kedekatan dengan masyarakat.



